Senin, 31 Maret 2008

Sertifikasi pengelola KJKS

Beberapa hari yang lalu tepatnya akhir maret 2008, saya mendapat undangan untuk mengikuti sosialisasi 'Standar kompetensi Kerja Nasional Indonesia Koperasi Jasa Keuangan'. Undangan itu diberikan karena status saya sebagai pengurus KJKS BMT Karisma. Forum sosialisasi ini sebenarnya mengacu kepada Kep Menaker dan Trans no KEP.113/MEN/III/2007 tentang SKKNI Bidang Koperasi Jasa Keuangan.
Secara konsep sertifikasi ini cukup bagus, mungkin memang karena sedang gencar-gencarnya pemerintah melakukan standarisasi di berbagai bidang. Masih hangat dalam ingatan kita baru-baru ini ada sertifikasi para guru.., dimana guru yang bersertifikat di pandang lebih 'berkualitas' dari pada yang belum bersertifikat. Begitu pula halnya dengan sertifikasi KJKS ini.., disini regulasi sertifikat untuk para pengelola KJK (atau KJKS) dipandang perlu karena lembaga ini adalah lembaga moneter/trust/profesi yuang berfungsi sebabagai lembaga intermediasi untuk :
  • Menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana dari, oleh dan untuk anggotanya
  • Mengelola dana Likuid (mudah hilang dan diselewengkan)
  • Mengelola dana penuh resiko
nah untuk mengamankan aset dan kepercayaan publik pada KJK ini maka pengelola harus kompeten dan profesional dengan dibuktikan memiliki sertifikat kompetensi/profesi.

Jadi dengan regulasi pemerintah ini akan memunculkan 2 lembaga yang terpisah yaitu 1. Lembaga Diklat Profesi (LDP) , yaitu lembaga yang melaksanakan mendidikan dan latihan bagi para pengelola KJK dan 2. Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), yaitu lembaga yang menerbitkan sertifikasi (tentunya melalui ujian sertifikasi) bagi pengelola KJK dan KJKS.

Dari sosialisasi tersebut saya menangkap kesan bahwa standarisasi masih perlu lagi diatur di level teknisnya. Sehingga tidak manjadikan kesempatan 'proyek' bagi oknum-oknum yang terkait. Misalnya...siapa yang boleh mendirikan LDP dan LSP? Apakah LSP tersebut merupakan lemabaga swasta yang 'membonceng' para pembuat regulasi atau dia merupakan lembaga resmi dari pemerintah.
Kesan proyek ini saya tangkap tangkap karena mahalnya biaya sertifikasi tersebut. Misalnya : Untuk mendapatkan sertifikasi level menager maka dia harus lulus 11 kompetensi (Kompetensi umum 2, Kompetensi Inti 6, kompternsi khusus 3). Padahal tiap modul biaya nya adalah sekitar Rp250.000,00; artinya untuk mendapatkan 11 kompetensi tersebut KJK dan KJKS harus mengeluarkan biaya kurang lebih Rp2.750.000,00. itu pun kalau lulus semua.., jika tidak lulus akan mengulang modul mana yang tidak lulus shg keluar uang lagi per modul.
Itu baru level manager.., padahal banyak level.. dari level II (untuk Kasir) s/d level VIII (untuk Konsultan Perkoperasian).

Padahal lembaga keuangan.., KJKS BMT yang selama ini banyak bermunculan.., didirikan karena kebutuhan masyarakat (grass root), jadi bukan top down dari pemerintah.., artinya masyarakat tidak akan memandang apakah pengelola tersebut bersertifikat atau tidak.., tetapi yang penting bagi masyarakat apakah pengelola tersebut 'amanah' dan profesional. Jadi bisa saja pengelola tersebut amanah dan profesional tetapi tidak bersertifikat akan lebih diterima di masyarakat.., dibandingkan dengan pengelola yang bersertifikat.
Artinya disini sertifikatisasi tidak menjamin bahwa pengelolaan lembaga keuangan akan lebih baik dan lebih sehat.

Tidak ada komentar: